Minggu, 03 Oktober 2010

Elements of Geology

Petroleum geology

Engineering geology for underground rocks

Structural geology: an introduction to geometrical techniques

Volcanic Activity: The Formation of Surtsey

Plate Techtonics

How Mountains Form Animation

Historical Geology part 1 of 10

Sebanyak 20 Gunung Api Diawasi Intensif

Sebanyak 20 gunung api di Indonesia masuk pengawasan intensif. "Saat ini tiga gunung api berstatus siaga atau level III sedangkan 17 lainnya waspada atau level II," kata Kepala Bidang Pengamatan Gunung Api Pusat Vukanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi di Bandung, Jumat (1/10).

Ketiga gunung api berlevel siaga adalah Gunung Sinabung (Sumatra Utara), Karangetang (Sulawesi), dan Gunung Ibu (Halmahera). Status gunung Sinabung turun dari status awas (level IV) jadi siaga sejak 23 September 2010. Sedangkan 17 gunung berstatus waspasa yakni Gunung Merapi, Egon, Talang, Batur, Kaba, Anak Krakatau, Semeru, Slamet, Sangeang Api, Rinjani, Rokatenda, Soputan, Dukono, Gamalama, Papandayan, Lokon, Kerinci, dan Gunung Bromo.

"Gunung Merapi merupakan gunung terakhir yang naik statusnya dari aktif normal ke waspada pada 20 September lalu," kata Hendrasto. Pengawasan gunung api dilakukan secara menerus karena termasuk gunung api tipe A. Jumlah gunung api tipe A sekitar 59, terakhir yang masuk jajaran tipe A adalah Gunung Sinabung.(ANT/JUM)


Sumber :
Zumrotul Muslimin
http://berita.liputan6.com/sosbud/201010/299108/Sebanyak.20.Gunung.Api.Diawasi.Intensif
1 Oktober 2010

Batuan

Batuan (Rocks) adalah bahan padat bentukan alam yang umumnya tersusun oleh kumpulan atau kombinasi dari satu macam mineral atau lebih.

JENIS BATUAN (ROCKS)

Batuan yang dibentuk oleh berbagai jenis dan susunan mineral dibagi menjadi tiga jenis, yaitu batuan beku (igneous rocks), batuan endapan (sedimentary rocks), dan batuan malihan (metamorphic rocks).


Batuan Beku (Igneous Rocks)

Batuan yang terbentuk dari proses pembekuan/pengkristalan magma dalam perjalanannya menuju permukaan bumi, termasuk hasil aktivitas gunungapi.

Batuan beku dalam = batuan plutonik, batuan yg membeku jauh di bawah permukaan bumi, contoh: granit
Batuan beku korok/gang = batuan intrusif / hipabisal, batuan yg membeku sebelum sampai ke permukaan bumi, contoh: granit porfir
Batuan beku luar/leleran = batuan ekstrusif / efusif, batuan yg membeku di permukaan bumi, contoh: batuan vulkanis


Batuan Endapan (Sedimentary Rocks)

Batuan yang terbentuk dari proses pengendapan bahan lepas (fragmen) hasil perombakan/pelapukan batuan lain yang terangkut dari tempat asalnya oleh air, es atau angin, yang kemudian mengalami proses diagenesa/pembatuan (pemadatan dan perekatan).

Batuan sedimen klastik / mekanis = batuan yg terendapkan dari hasil rombakan batuan asal, contoh: konglomerat, breksi, batupasir, serpih, napal, batulempung
Batuan sedimen organik = batuan yg berasal dari endapan bahan organis (binatang & tumbuhan), contoh: batugamping, batubara, batu gambut, diatomit
Batuan sedimen kimiawi = batuan endapan akibat proses kimiawi, contoh: evaporit, travertin, anhidrit, halit, batu gips
Batuan sedimen piroklastik = batuan endapan hasil erupsi gunungapi berupa abu/debu, contoh: tufa


Batuan Malihan (Metamorphic Rocks)

Batuan yang terbentuk dari proses perubahan batuan asal (batuan beku maupun sedimen), baik perubahan bentuk/struktur maupun susunan mineralnya akibat pengaruh tekanan dan/atau temperatur yang sangat tinggi, sehingga menjadi batuan yang baru.
Batuan metamorf kontak/sentuh/termal = batuan malihan akibat bersinggungan dengan magma, contoh: marmer, kuarsit, batutanduk
Batuan metamorf tekan/dinamo/kataklastik = batuan malihan akibat tekanan yang sangat tinggi, contoh: batusabak, sekis, filit
Batuan metamorf regional/dinamo-termal = batuan malihan akibat pengaruh tekanan dan temperatur yang sangat tinggi, contoh: genes, amfibolit, grafit.


Sumber :
http://museum.bgl.esdm.go.id/index.php/benda-geologi/batuan.html

Gunung Api

Bagian permukaan bumi yang menjulang tinggi (>300 m) yang biasanya berbentuk kerucut terpancung dengan lubang kawah di puncaknya, terbentuk akibat munculnya magma ke permukaan bumi.

JENIS GUNUNGAPI :
Gunungapi Aktif (Active volcano), gunungapi yang masih menunjukkan aktivitas vulkanisme (erupsi masih berlangsung).
Gunungapi Istirahat (Dormant volcano), gunungapi yang tidak menunjukkan kegiatan dalam waktu yang cukup lama, namun sewaktu-waktu dapat meletus.
Gunungapi Mati (Extinct volcano), gunungapi yang sudah tidak akan bererupsi lagi.

TIPE GUNUNGAPI :

1. KERUCUT PIROKLASTIKA

Kerucut gunungapi yang tersusun atas material piroklastika (bahan-bahan lepas gunungapi) berupa bom, lapili, dan abu gunungapi. Pada umumnya bentuk gunungapi ini memiliki kawah di bagian puncak dan tubuh gunungapi tidak terlalu tinggi karena endapan piroklastika yang masih lepas dan mudah tererosi.



2. MAAR

Gunungapi berbentuk kerucut terpancung yang memiliki kawah berbentuk mangkuk dengan lebar kawah relatif lebih besar dibandingkan tinggi kawah. Pada umumnya gunungapi ini memiliki lereng relatif landai dan kawah yang terisi air membentuk danau kawah. Maar yang terkenal di Indonesia terdapat di G. Lamongan, Jawa Timur.





3. GUNUNGAPI KALDERA

Suatu gunungapi berbentuk kerucut terpancung, dengan lebar kawah berdiameter lebih dari 2 km yang terbentuk sebagai akibat erupsi eksplosi yang dahsyat.



4. KUBAH LAVA

Tonjolan batuan lava berbentuk membundar dengan kemiringan lereng relatif sama ke segala arah, yang terbentuk akibat penerobosan magma ke permukaan bumi. Pada umumnya kubah lava terbentuk dari lava yang sangat kental. Besar dan luasnya tergantung pada volume lava dan sifat kekentalan.



5. GUNUNGAPI PERISAI

Gunungapi yang tersusun atas perlapisan aliran lava yang sangat encer sebagai hasil erupsi yang berulang. Biasanya bentuk gunungapi ini memiliki lereng yang landai. Jarang dijumpai di Indonesia , tetapi sangat umum dijumpai di Kepulauan Hawaii.



6. GUNUNGAPI STRATO ATAU CAMPURAN

Gunungapi berbentuk kerucut atau kerucut terpancung yang tersusun atas perlapisan atau perselingan antara aliran lava dan endapan piroklastika. Bentuk gunungapi ini sangat umum dijumpai di Indonesia.


Sumber :
http://museum.bgl.esdm.go.id/index.php/fenomena-geologi/gunungapi.html

Pengertian Geologi

Secara Etimologis Geologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Geo yang artinya bumi dan Logos yang artinya ilmu, Jadi Geologi adalah ilmu yang mempelajari bumi. Secara umum Geologi adalah ilmu yang mempelajari planet Bumi, termasuk Komposisi, keterbentukan, dan sejarahnya. Karena Bumi tersusun oleh batuan, pengetahuan mengenai komposisi, pembentukan, dan sejarahnya merupakan hal utama dalam memahami sejarah bumi. Dengan kata lain batuan merupakan objek utama yang dipelajari dalam geologi.


Lapisan Bumi

Ruang Lingkup Geologi

Secara keseluruhan bumi ini terdiri dari beberapa lapisan yaitu :
1. Atmosfer, yaitu lapisan udara yang menyelubungi Bumi
2. Hidrosfer, yaitu lapisan air yang berada di permukaan Bumi
3. Biosfer, yaitu Lapisan tempat makhluk hidup
4. Lithosfer, yaitu lapisan batuan penyusun Bumi

Ruang lingkup pembelajaran geologi yaitu lithosfer yang merupakan lapisan batuan penyusun bumi dari permukaan sampai inti bumi. Geologi juga mempelajari benda-benda luar angkasa, dan bukan tak mugkin suatu saat nanti kita dapat mengetahui keadaan geologi bulan misalnya.


Cabang-cabang ilmu geologi

Kajian geologi memiliki ruang lingkup yang luas, di dalamnya terdapat kajian-kajian yang kemudian berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri walaupun sebenarnya ilmu-ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling menunjang satu sama lain. ilmu-ilmu tersebut yaitu :

Mineralogi, yaitu ilmu yang mempelajari mineral, berupa pendeskripsian mineral yang meliputi warna, kilap, goresan, belahan, pecahan dan sifat lainnya.

Petrologi, yaitu ilmu yang mempelajari batuan, didalamnya termasuk deskripsi,klasifikasi dan originnya.

Sedimentologi, yaitu ilmu yang mempelajari batuan sediment, meliputi deskripsi, klasifikasi dan proses pembentukan batuan sediment.

Stratigrafi, yaitu ilmu tentang urut-urutan perlapisan batuan, pemeriannya dan proses pembentukannya.

Geologi Struktur, adalah ilmu yang mempelajari arsitektur kerak bumi dan proses pembentukannya.

Palentologi, yaitu ilmu yang mempelajari aspek kehidupan masa lalu yang berupa fosil. Paleontology berguna untuk penentuan umur dan geologi sejarah.

Geomorfologi, yaitu ilmu yang mempelajari bentuk bentang alam dan proses-proses pembentukan bentang alam tersebut. Ilmu ini berguna dalam menentukan struktur geologi dan batuan penyusun suatu daerah.

Geologi Terapan, merupakan ilmu-ilmu yang dikembangkan dari geologi yang digunakan untuk kepentingan umat manusia, diantaranya Geologi Migas, Geologi Batubara,Geohidrologi, Geologi Teknik, Geofisila, Geothermal dan sebagainya.

Sumber :
http://www.senyawa.com/2010/03/pengertian-geologi.html
22 Maret 2010

Ahli Geologi & Arkeologi Tegaskan Atlantis Tidak Ada di Indonesia

Profesor Arysio Santos membuat buku 'Atlantis, The Lost Continent Finally Found' yang mencengangkan. Dirinya menyebut kalau Atlantis yang selama ini dicari adalah Indonesia.

Namun, tesis-tesis yang dikemukakan profesor Santos dalam bukunya dibantah oleh ahli Geologi dan Arkeologi.

"Benua peradaban Atlantis yang hilang tidaklah dimana-mana itu hanya sebuah fiksi. Tapi itu bisa dijadikan motivasi untuk mencari peradaban-peradaban masa lalu," ujar Ketua Ahli Ikatan Arkeologi Indonesia, Profesor Dr Harry Truman Simanjuntak, pada acara Seminar Nasional 'Indonesia Atlantis yang Sesungguhnya' di Museum Indonesia TMII, Jakarta, Sabtu (20/2/2010).

Menurut Harry, penelitian arkeologi menunjukkan manusia belum mampu memiliki kemampuan seperti yang digambarkan tentang peradaban bangsa Atlantis. Selain itu, kata Harry, tesis Santos dibuat berdasarkan cerita yang dibuat oleh Plato. Di mana cerita tersebut dipertanyakan kebenarannya hingga saat ini.

"Kita harus hati-hati dengan sumber cerita itu. Santos berangkat dari cerita yang sudah beribu-ribu tahun lalu, yang kebenarannya masih perlu diuji," jelasnya.

Senada dengan profesor Harry, ahli geologi Dr Awang Setyana juga menilai karya Santos tidak didukung fakta yang akurat.

"Tesis yang diajukan santos tidak mempunyai argumentasi dan bukti geologi,' jelas Awang.

Menurut Awang, Santos dalam bukunya bersandarkan hanya pada kontemplasi yang dilakukannya selama 10 tahun. Dalam buku Santos, kata Awang, tidak ada analisis empiris maupun bukti-bukti yang mendukung tesisnya.

"Santos menyebutkan 11.600 tahun yang lalu terjadi letusan gunung Krakatau. Menurut penelitian geologi, tidak ada bukti Krakatau pernah meletus 11.600 tahun yang lalu," terang Awang.

Awang menegaskan, kalau Atlantis tidak berada di Indonesia."Sangat diragukan Indonesia adalah benua Atlantis. Atlantis yang paling mungkin adalah kebudayaan tengah, kebudayaan Minoa karena pernah ada gunung meletus yang besar," tutupnya.
(ddt/mad)

Sumber :
Didit Tri Kertapati - detikNews
http://www.detiknews.com/read/2010/02/20/180518/1303469/10/ahli-geologi-arkeologi-tegaskan-atlantis-tidak-ada-di-indonesia-
20 Februari 2010

Ayo Belajar Geologi dan Jadi Ahli Gempa

Oleh NINOK LEKSONO

Gempa bumi, (letusan) gunung berapi, dan tsunami sejak lama menimbulkan ketakutan dan (sekaligus) kekaguman dalam pikiran manusia, melahirkan mitos, legenda, dan banyak film bencana Hollywood. Kini, teknologi maju memungkinkan kita berlatih, mengukur, memantau, mengambil sampel, dan mencitra Bumi dan gerakannya seperti belum pernah terjadi sebelumnya…. (Dr Ellen J Prager, ”Furious Earth”, 2000)

Gempa demi gempa terkesan semakin rajin menyambangi Tanah Air. Di tengah era informasi dan maraknya industri media, serba hal mengenai gempa pun hadir ke jantung rumah tangga. Orang tua, orang muda, dan anak-anak yang selama ini kurang (atau bahkan tidak) memerhatikan soal-soal gempa kini banyak yang terpaku lama menyaksikan reportase dari wilayah bencana melalui TV atau membacanya di media cetak dan online.

Mula-mula yang muncul adalah ketakutan, membayangkan bagaimana kalau gempa terjadi di kotanya sendiri. Tentu selain itu juga rasa prihatin dan peduli atas bencana yang terjadi. Berikutnya, dari rasa peduli dan takut tadi muncul pula rasa ingin tahu tentang berbagai segi, menyangkut penyebab-penyebab terjadinya gempa, mana saja daerah yang rawan gempa, apakah gempa dapat diramalkan, atau bagaimana cara mengurangi akibat mematikan gempa.

Barangkali itu awal yang menarik bagi tumbuhnya minat terhadap ilmu-ilmu yang terkait dengan kegempaan, yang sebagian ada di ilmu geologi, juga di cabang-cabangnya, seperti seismologi, dan juga di geofisika. Harus diakui, hingga belum lama ini, ilmu tersebut masih sering dilihat dengan sebelah mata, sebagai ilmu yang kering dan kurang banyak manfaatnya untuk dipelajari.

Kini, dengan sering terjadinya gempa dan semakin tumbuhnya kesadaran bahwa Tanah Air berada di jalur gempa dan gunung api yang dikenal sebagai Cincin Api, masyarakat semakin menyadari pentingnya ilmu-ilmu di atas.

Memang gempa tak akan memusnahkan bangsa Indonesia, kecuali mungkin yang disebabkan oleh gempa dan tsunami kosmik akibat wilayah Nusantara ditumbuk oleh asteroid atau komet besar. Namun, terus-menerus diguncang gempa—apalagi bila tanpa pembelajaran memadai untuk meminimalkan dampak—bisa menguras tenaga dan pikiran bangsa. Belum lagi harus diakui, ada kerugian materiil yang amat besar tiap kali terjadi gempa (atau letusan gunung berapi), plus biaya rehabilitasi dan rekonstruksi.

Melalui cinta ilmu geologi, pemahaman dan kearifan akan sifat dan perilaku Bumi meningkat. Berikutnya, risiko bencana dapat dikurangi, korban dapat diminimalkan, dan kerugian harta benda dapat ditekan.

Ilmu kebumian

Fokus bahasan kita kali ini pada ilmu geologi, yang mempelajari komposisi, struktur, proses, dan sejarah Bumi. Ilmuwan yang mendefinisikan geologi adalah Sir Charles Lyell pada tahun 1830. Semenjak saat itu, studi geologi diperluas sampai ke planet-planet lain dan satelitnya, yang lalu dikenal sebagai geologi keplanetan. Ada banyak cabang dalam geologi, antara lain geofisika, yang mempelajari fisika Bumi.

Melalui ilmu inilah orang mengenal lapisan-lapisan yang ada di Bumi, yakni kerak atau kulit, lalu mantel, dan inti. Kerak bumi yang berwujud lempeng-lempeng ini rupanya telah bergerak ke sana-sini di permukaan Bumi setidaknya sejak 600 juta tahun terakhir—dan bisa jadi sejak beberapa miliar tahun sebelumnya (New York Public Library Science Desk Ref, 1995). Sekarang ini, setiap lempeng bergerak dengan kecepatan berbeda-beda, di antaranya ada yang dengan kecepatan 2,5 sentimeter per tahun.

Para ilmuwan yakin, pada masa lalu, sekitar 250 juta tahun silam, ada benua besar atau superkontinen yang dinamai Pangaea (Nama Pangaea diusulkan oleh geolog besar Alfred Wegener tahun 1915). Sekitar 180 juta tahun lalu, superkontinen ini pecah, menjadi Gondwanaland, atau Gondwana, dan Laurasia. Gondwana adalah kontinen hipotetis yang dibentuk dari bersatunya Amerika Selatan, Afrika, Australia, India, dan Antartika. Sementara Laurasia tersusun dari Amerika Utara dan Eurasia. Sekitar 65 juta tahun silam—masa sekitar punahnya dinosaurus—kedua kontinen itu mulai berpisah, perlahan-lahan membentuk tatanan seperti yang kita lihat sekarang ini.

Ada prediksi menarik: dalam 50 juta tahun dari sekarang, pantai barat Amerika Utara akan robek dari daratan utama (mainland), dan—ini dia—Australia akan bergerak ke utara dan bertubrukan dengan Indonesia. Sementara Afrika dan Asia akan terpisah di Laut Merah.

Riwayat menarik

Kini, ketika kita semakin mengakui pentingnya ilmu-ilmu alam, kebumian, baik juga dipikirkan cara untuk mengembangkan minat. Jangan sampai ironi yang ada sekarang ini berkepanjangan, di mana negara di Cincin Api hanya memiliki sejumlah kecil ahli, seperti hari-hari ini kita baca profilnya di harian ini. Mereka bekerja di sejumlah lembaga pendidikan dan penelitian seperti ITB, UGM, LIPI, dan BPPT.

Dengan frekuensi berita gempa yang tinggi akhir-akhir ini, terungkap pula sejumlah istilah dan teori fundamental dalam geologi, seperti intensitas gempa dalam skala Richter dan tentang lempeng tektonik.

Demi masa depan

Sebagaimana studi tentang hutan, iklim, atau vulkanologi, ilmuwan ahli gempa Indonesia punya peluang besar untuk berkontribusi dalam sains yang hebat ini karena Indonesia sering disebut sebagai laboratorium alam yang unik. Sumbangan ilmiah ini maknanya tidak saja sebatas pemerkayaan ilmu pengetahuan, tetapi juga terkait dengan masa depan manusia.

Dalam jangka dekat, peminat dan ilmuwan ahli gempa mungkin masih merasa tertantang untuk menjawab pertanyaan fundamental seperti ”dapatkah kita meramal terjadinya gempa?”

Saat ini jawabannya adalah ”mustahil” bila yang dimaksud adalah meramal ”hari, tanggal, dan jam berapa gempa akan terjadi”. Karena yang bisa diketahui baru wilayah mana yang akan terancam gempa dalam kurun 20-30 tahun mendatang, sebenarnya pekerjaan sudah menanti untuk menyiapkan segala sesuatunya. Tujuannya tidak lain untuk meminimalkan potensi kerusakan akibat gempa.

Mari kita sambut tantangan ilmu geologi untuk semakin memahami Bumi dan segala aktivitasnya. Kita yakin, dengan semakin bertambahnya ahli gempa, akan semakin nyaring suara yang mengingatkan bangsa Indonesia untuk selalu siaga menghadapi pergerakan lempeng tektonik jauh di bawah sana.


Sumber :
http://sains.kompas.com/read/2009/10/07/05040146/ayo.belajar.geologi.dan.jadi.ahli.gempa
7 Oktober 2009

Dott Sampurno, Pionir Geologi Teknik

Dia salah seorang pionir geologi teknik dan lingkungan di Indonesia. Bidang keilmuan yang berkait erat dengan teknik sipil, bencana alam dan lingkungan. Bumi, kata guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB), ini ibarat remasan kerupuk di atas bubur panas. Di Bumi ini terdapat lebih kurang 16 keping lempeng. Pergeseran satu lempeng itu, hari Minggu, 26 Desember 2004, mengakibatkan gempa yang disusul tsunami dan merenggut ratusan ribu jiwa manusia, di antaranya di Aceh dan Sumut.

Jika diibaratkan bumi ini sebesar bola sepak, maka tanah tempat manusia menempel di atasnya ibarat kulit yang tebalnya hanya 0,7 milimeter. Kulit yang tipis itu mengapung-apung di atas massa cair kental yang pijar bersuhu tinggi. Kulit bumi yang tipis terus bergerak, bergeser, saling mendesak, mengerut dan terkoyak atau sobek di sana-sini sehingga pecah berkeping-keping. Satu di antara pergeseran lempeng tersebut terjadi hari Minggu, 26 Desember 2004, mengakibatkan gempa yang disusul tsunami.

Pria kelahiran Semarang, 2 Desember 1934, dari keluarga sederhana pasangan M Koetojo dan Ny Moendijah, ini mengaku sudah tertarik dengan ilmu kebumian sejak SMP dan SMA. Kemudian, ia memasuki Jurusan Geologi FIPIA Universitas Indonesia (UI), kini Institut Teknologi Bandung (ITB), tahun 1954. Kala itu, tempat kuliahnya bekas bedeng asrama tentara, berupa bangunan setengah bata dan setengah bilik. Ruang baca bersatu dengan ruang tata usaha sehingga selalu ramai.

Dia menyenangi bidang geologi teknik karena hasil pekerjaannya bisa cepat dievaluasi dan banyak berhubungan dengan orang banyak. Tahun 1959-1962, ia melanjutkan studi geologi di Facolta di Scienae Universitas Degli Studi, Padova, Italia. Ia meraih gelar dottore in scienze geologiche dengan tesis berjudul Studio Petrografico della zona di Contatto di Val San Valentino, Adamello.

Saat studi di Italia itu, Sampurno merasa kagum melihat karya Prof Dr Dal Piaz yang mengolah geologi jalan raya Bologna-Florence di Italia. Sehingga minatnya tentang geologi semakin tinggi.


Sekembali dari Italia, dia bertekad kuat untuk mengaplikasikan ilmunya di Indonesia. Pertama kali, Sampurno mengaplikasikan geologi teknik dalam pemugaran Candi Borobudur. Saat itu, ada tiga hal yang menjadi perhatiannya, yakni keadaan tanah, bahan baku batuan dan penyediaan air. Berkat pengabdiannya dalam pemugaran Candi Borobudur, ia pun menerima piagam penghargaan dan medali dari Menteri P dan K pada 22 Februari 1983.

Saat aktif dalam pemugaran Candi Borobudur itu pula, ia berkenalan dengan ahli purbakala, Dra Sri Wuryani yang kemudian menikahinya tahun 1964. Pernikahan ini dikaruniai tiga anak, yaitu Vedy, Niya, dan Ista.

Dia dan keluarganya hidup bersahaja. Kebersahajaan itu tercermin dari kegemarannya berbaju batik atau lurik dengan alas kaki sepatu sandal, serta pilihan hidupnya menjadi dosen. Penggemar olahraga renang dan menyapu lantai atau halaman rumah, ini memulai kariernya sebagai pengajar di ITB sejak 1 September 1959, hingga menjadi seorang profesor. Setelah 45 tahun mengabdi, dia mengaku gaji pokok seorang profesor hanya Rp 1.447.700.

Maka, selain mengajar di ITB, ia pun mengajar di berbagai perguruan tinggi lainnya, seperti di Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung, STT Nasional Yogyakarta, Universitas Pakuan (Unpak) Bogor dan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Di kalangan mahasiswanya, ia dikenal sebagai dosen yang disiplin dan "galak". Padahal, kalau di rumah, menurut pengakuan Niya, anak keduanya, tidak pernah marah. Di mata anak-anaknya, sang ayah terkesan paling senang kalau diajak makan di warung tenda. Jika ada pengamen, ia biasanya meminta dua sampai tiga lagu. Setelah itu pengamennya diajak makan bareng. Akan tetapi, kalau pengamennya waria, malah diminta cepat-cepat pergi.

Gaya dan semangat hidupnya bersahaja, hangat dan energik walau usianya sudah mencapai 70 tahun. Dalam usia 60 tahun, ia masih mampu mendaki puncak Cartenz di Pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya. Seperti tidak mengenal lelah, dia selalu bersemangat menanamkan kepedulian masyarakat terhadap alam melalui ilmu pengetahuan geologi.

Sejak tahun 1970, ia turut menerapkan ilmu geologi dalam berbagai bidang pembangunan. Seperti geologi untuk bendungan, jalan raya, longsoran, pengadaan air bersih, pengembangan wilayah dan kota, serta lokasi pembuangan sampah padat. Selama 37 tahun sejak tahun 1963, dia mengaplikasikan keahliannya di bidang geologi teknik, sebagai tenaga ahli di Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat.

Dia juga aktif dalam Kelompok Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Pariwisata (KPPLH dan KPPPar-ITB). Hasil penelitian dan pemikirannya tentang geologi teknik dan lingkungan tersebut tersebar di berbagai media.
Dia memang punya kemampuan menulis secara populer. Di berbagai media, Sampurno menulis dengan bahasa yang sederhana, mudah dan enak dicerna oleh pembaca awam sekalipun, sehingga ilmu pengetahuan geologi itu lebih membumi.

Dia pun sangat beruntung memiliki pasangan hidup, isteri, yang ahli purbakala. Secara tertib, isterinya selalu menyimpan tulisan-tulisan tersebut, baik berupa hasil penelitian maupun kliping surat kabar dan foto-fotonya. Kemudian oleh anak-anaknya, kumpulan tulisan itu dibukukan.

Telah terbit dalam dua jilid, yakni Kilas Balik Pelangi Kehidupan Sampurno dan Jejak Langkah Geologi. Kedua buku itu memperlihatkan kecintaannya terhadap geologi lingkungan. Diluncurkan pada pelepasannya sebagai guru besar ITB, 18 Desember 2004, setelah hampir setengah abad merintis aktivitas pemikirannya. Namun, sebagai guru, dia mengaku, tak mengenal pensiun. Menurutnya, pensiun sebagai guru besar di ITB, merupakan awal untuk melanjutkan perjalanannya di tempat lain. ►e-ti/mlp


*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia

Sumber :
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/d/dott-sampurno/index.shtml

Proses Pembentukan Minyak bumi

Membahas identifikasi minyak bumi tidak dapat lepas dari bahasan teori pembentukan minyak bumi dan kondisi pembentukannya yang membuat suatu minyak bumi menjadi spesifik dan tidak sama antara suatu minyak bumi dengan minyak bumi lainnya. Karena saya adalah seorang chemist, maka pendekatan yang saya lakukan lebih banyak kepada aspek kimianya daripada dari aspek geologi. Pemahaman tentang proses pembentukan minyak bumi akan diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk menginterpretasikan hasil identifikasi. Ada banyak hipotesa tentang terbentuknya minyak bumi yang dikemukakan oleh para ahli, beberapa diantaranya adalah :

1. Teori Biogenesis (Organik)
Macqiur (Perancis, 1758) merupakan orang yang pertama kali mengemukakan pendapat bahwa minyak bumi berasal dari tumbuh-tumbuhan. Kemudian M.W. Lamanosow (Rusia, 1763) juga mengemukakan hal yang sama. Pendapat di atas juga didukung oleh sarjana lainnya seperti, New Beery (1859), Engler (1909), Bruk (1936), Bearl (1938) dan Hofer. Mereka menyatakan bahwa: “minyak dan gas bumi berasal dari organisme laut yang telah mati berjuta-juta tahun yang lalu dan membentuk sebuah lapisan dalam perut bumi.

2. Teori Abiogenesis (Anorganik)
Barthelot (1866) mengemukakan bahwa di dalam minyak bumi terdapat logam alkali, yang dalam keadaan bebas dengan temperatur tinggi akan bersentuhan dengan CO2 membentuk asitilena. Kemudian Mandeleyev (1877) mengemukakan bahwa minyak bumi terbentuk akibat adanya pengaruh kerja uap pada karbida-karbida logam dalam bumi. Yang lebih ekstrim lagi adalah pernyataan beberapa ahli yang mengemukakan bahwa minyak bumi mulai terbentuk sejak zaman prasejarah, jauh sebelum bumi terbentuk dan bersamaan dengan proses terbentuknya bumi. Pernyataan tersebut berdasarkan fakta ditemukannya material hidrokarbon dalam beberapa batuan meteor dan di atmosfir beberapa planet lain .

Dari sekian banyak hipotesa tersebut yang sering dikemukakan adalah Teori Biogenesis, karena lebih bisa. Teori pembentukan minyak bumi terus berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi dan teknik analisis minyak bumi, sampai kemudian pada tahun 1984 G. D. Hobson dalam tulisannya yang berjudul The Occurrence and Origin of Oil and Gas menyatakan bahwa : “The type of oil is dependent on the position in the depositional basin, and that the oils become lighter in going basinward in any horizon. It certainly seems likely that the depositional environment would determine the type of oil formed and could exert an influence on the character of the oil for a long time, even thought there is evolution”.

Berdasarkan teori Biogenesis, minyak bumi terbentuk karena adanya kebocoran kecil yang permanen dalam siklus karbon. Siklus karbon ini terjadi antara atmosfir dengan permukaan bumi, yang digambarkan dengan dua panah dengan arah yang berlawanan, dimana karbon diangkut dalam bentuk karbon dioksida (CO2). Pada arah pertama, karbon dioksida di atmosfir berasimilasi, artinya CO2 diekstrak dari atmosfir oleh organisme fotosintetik darat dan laut. Pada arah yang kedua CO2 dibebaskan kembali ke atmosfir melalui respirasi makhluk hidup (tumbuhan, hewan dan mikroorganisme).



Dalam proses ini, terjadi kebocoran kecil yang memungkinkan satu bagian kecil karbon yang tidak dibebaskan kembali ke atmosfir dalam bentuk CO2, tetapi mengalami transformasi yang akhir-nya menjadi fosil yang dapat terbakar. Bahan bakar fosil ini jumlahnya hanya kecil sekali. Bahan organik yang mengalami oksidasi selama pemendaman. Akibatnya, bagian utama dari karbon organik dalam bentuk karbonat menjadi sangat kecil jumlahnya dalam batuan sedimen.
Pada mulanya senyawa tersebut (seperti karbohidrat, protein dan lemak) diproduksi oleh makhluk hidup sesuai dengan kebutuhannya, seperti untuk mempertahankan diri, untuk berkembang biak atau sebagai komponen fisik dan makhluk hidup itu. Komponen yang dimaksud dapat berupa konstituen sel, membran, pigmen, lemak, gula atau protein dari tumbuh-tumbuhan, cendawan, jamur, protozoa, bakteri, invertebrata ataupun binatang berdarah dingin dan panas, sehingga dapat ditemukan di udara, pada permukaan, dalam air atau dalam tanah.
Apabila makhluk hidup tersebut mati, maka 99,9 % senyawa karbon dan makhluk hidup akan kembali mengalami siklus sebagal rantai makanan, sedangkan sisanya 0,1 % senyawa karbon terjebak dalam tanah dan dalam sedimen. Inilah yang merupakan cikal bakal senyawa-senyawa fosil atau dikenal juga sebagai embrio minyak bumi. Embrio ini mengalami perpindahan dan akan menumpuk di salah satu tempat yang kemungkinan menjadi reservoar dan ada yang hanyut bersama aliran air sehingga menumpuk di bawah dasar laut, dan ada juga karena perbedaan tekanan di bawah laut muncul ke permukaan lalu menumpuk di permukaan dan ada pula yang terendapkan di permukaan laut dalam yang arusnya kecil.
Embrio kecil ini menumpuk dalam kondisi lingkungan lembab, gelap dan berbau tidak sedap di antara mineral-mineral dan sedimen, lalu membentuk molekul besar yang dikenal dengan geopolimer. Senyawa-senyawa organik yang terpendam ini akan tetap dengan karakter masing-masing yang spesifik sesuai dengan bahan dan lingkungan pembentukannya. Selanjutnya senyawa organik ini akan mengalami proses geologi dalam perut bumi. Pertama akan mengalami proses diagenesis, dimana senyawa organik dan makhluk hidup sudah merupakan senyawa mati dan terkubur sampai 600 meter saja di bawah permukaan dan lingkungan bersuhu di bawah 50°C.


Pada kondisi ini senyawa-senyawa organik yang berasal dan makhluk hidup mulai kehilangan gugus beroksigen akibat reaksi dekarboksilasi dan dehidratasi. Semakin dalam pemendaman terjadi, semakin panas lingkungannya, penam-bahan kedalaman 30 - 40 m akan menaik-kan temperatur 1°C. Di kedalaman lebih dan 600 m sampai 3000 m, suhu pemendaman akan berkisar antara 50 - 150 °C, proses geologi kedua yang disebut katagenesis akan berlangsung, maka geopolimer yang terpendam mulal terurai akibat panas bumi.


Komponen-komponen minyak bumi pada proses ini mulai terbentuk dan senyawa–senyawa karakteristik yang berasal dan makhluk hidup tertentu kembali dibebaskan dari molekul. Bila kedalaman terus berlanjut ke arah pusat bumi, temperatur semakin naik, dan jika kedalaman melebihi 3000 m dan suhu di atas 150°C, maka bahan-bahan organik dapat terurai menjadi gas bermolekul kecil, dan proses ini disebut metagenesis.
Setelah proses geologi ini dilewati, minyak bumi sudah terbentuk bersama-sama dengan bio-marka. Fosil molekul yang sudah terbentuk ini akan mengalami perpindahan (migrasi) karena kondisi lingkungan atau kerak bumi yang selalu bergerak rata-rata se-jauh 5 cm per tahun, sehingga akan ter-perangkap pada suatu batuan berpori, atau selanjutnya akan bermigrasi membentuk suatu sumur minyak. Apabila dicuplik batuan yang memenjara minyak ini (batuan induk) atau minyak yang terperangkap dalam rongga bu-mi, akan ditemukan fosil senyawa-senyawa organik. Fosil-fosil senyawa inilah yang diten-tukan strukturnya menggunaan be-berapa metoda analisis, sehingga dapat menerangkan asal-usul fosil, bahan pembentuk, migrasi minyak bumi serta hubungan antara suatu minyak bumi dengan minyak bumi lain dan hubungan minyak bumi dengan batuan induk.




Daftar Pustaka

1. Edgar Winston Spencer, 1977, “Introduction to the Structure of the Earth”, McGraw-Hill, Inc., New York.

2. George Douglas Hobson, 1984, “The Occurrence and Origin of Oil and Gas”, Fifth Edition, Proceedings of Modern Petroleum Technology, Institute of Petroleum, Great Britain.

3. Peters, K. E., and M. Moldowan, 1993, “The Biomarker Guide for Interpreting Molecular Fossils in Petroleum and Ancient Sediments”, Prentice Hall, New Jersey.

4. Philip, R. P., 1985, “Fossil Fuel Biomarkers. Application and Spectra”, Elsevier, Amsterdam.

Sumber :
http://persembahanku.wordpress.com, dalam :
http://geologikita.blogspot.com/2008/11/proses-pembentukan-minyak-bumi.html
17 November 2008

Menghentikan Semburan Lumpur Lapindo

Kebocoran dari pipa minyak bawah laut milik British Petroleum (BP) telah memasuki minggu ketujuh. Meskipun sulit, ahli-ahli di BP berjuang menutup kebocoran sumur bawah laut di Teluk Meksiko itu. Tak ingin reputasinya merosot, BP mengerahkan aneka upaya dan berbagai macam teknologi. Mereka optimistis kebocoran bisa dihentikan agar pesisir pantai Amerika Serikat tidak tercemar berat oleh tumpahan minyak.

Semburan ini menjadi sorotan dunia, terutama terkait keselamatan migas. Maklum, dengan semburan 3.000-5.000 barrel minyak per hari, insiden ini merupakan pencemaran terburuk dalam sejarah AS, melampaui bencana tumpahan minyak dari kapal tanker Exxon Valdez pada 1989 yang menebarkan minyak di laut lebih dari 245.000 barrel. Pemerintah AS memperkirakan, 18 juta sampai 40 juta galon minyak mentah telah mencemari Teluk Meksiko.

Akibat kejadian ini, Pemerintah Barack Obama mendapatkan tekanan berat dari oposisi, pencinta lingkungan, dan warga AS. Pemerintah Obama menekan BP agar terus berupaya menghentikan kebocoran. Obama tidak mau tahu, bahkan dengan tegas mengatakan penanganan kebocoran dan penanggulangan kerusakan lingkungan sepenuhnya menjadi tanggung jawab BP. Obama juga menebarkan optimisme: ”Kami tidak akan menyerah sampai kebocoran bisa dihentikan, hingga air dan pantai-pantai dibersihkan, hingga orang-orang yang jadi korban bencana buatan manusia mendapatkan hidupnya kembali.”

Kondisi kontras terjadi di Indonesia. Sejak empat tahun lalu, persisnya per 29 Mei 2006, kita dihadapkan kepada semburan lumpur panas yang terus terjadi di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Sekitar 600 hektare kawasan terkena dampak semburan lumpur panas tersebut. Ribuan keluarga terpaksa dipindahkan dari lokasi bencana, termasuk pabrik. Infrastruktur publik, seperti jalan dan rel kereta api, rusak. Tak terhitung kerugian sosial dan ekonomi yang diderita oleh rakyat Jawa Timur akibat petaka lumpur panas itu.

Jika BP berjuang keras menghentikan kebocoran, sebaliknya semburan lumpur panas di Sidoarjo cenderung dibiarkan. Kita menyerah dan menganggap sebagai fenomena alam, seperti putusan Mahkamah Agung bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam. Bahkan, muncul ide dari Presiden Yudhoyono untuk menjadikan pusat semburan lumpur sebagai kawasan wisata. Bencana lumpur dianggap sebagai sesuatu yang layak jadi tontonan.

Untuk mematikan semburan membutuhkan tekad dan kesungguhan dari pelaksana. Karena itu, kasus semacam ini sering melahirkan “pahlawan” sejati, seperti yang dilakukan Wang Jin Xi tahun 1960 saat menanggulangi semburan di lapangan Daqing, China utara. Karena spirit dan inisiatifnya yang sangat kuat itu Jin Xi diberi gelar “Iron Man”. Berkat “pahlawan-pahlawan” itu pula kecelakaan serupa di Selat Timor, Utara Australia, September 2009, berhasil dihentikan. Hampir semua negara di dunia yang memiliki lapangan migas, puluhan kali terjadi kasus serupa, baik di Indonesia, di AS, Afrika, Eropa, maupun Asia. Semua semburan tersebut berhasil dijinakkan.

Semburan migas yang tidak terkontrol dikenal dengan istilah “blow out”. Di Indonesia, ini pernah terjadi di kawasan laut, seperti di pantai Kalimatan Timur, pesisir Sumatra, dan pesisir Jawa. Semburan migas di Indonesia dan Selat Timor terjadi pada kedalaman laut hanya beberapa puluh meter air laut. Sebaliknya, semburan di Teluk Meksiko berada pada kedalaman sekitar 1500 meter. Jadi, penangannya lebih sulit dan lebih mahal.

Karena air laut yang harus ditembus begitu dalam, maka teknologi selubung menggunakan “Riser”, yaitu pipa yang menghubungkan dasar laut dengan permukaan yang memisahkan tercampurnya lumpur pemboran dari air laut. BOP (blow out preventer) atau alat pencegah semburan ditempatkan di dasar laut yang pengontrolannya dilakukan dari permukaan. Semburan dalam kasus di Teluk Meksiko ini sampai membuat Riser terputus dan lepas, sementara BOP tidak sempat mampu menahan tekanan yang datang dari bawah, sehingga semburan terjadi mulai dari dasar laut.

Untuk menutupnya dimulai dengan langkah “pendek”, yaitu melokalisasi semburan dengan cara menurunkan Kubah yang besar dan berat, dan di puncaknya dihubungkan dengan pipa sebagai penyalur minyak sampai ke permukaan. Ini memungkinkan minyak dapat dialirkan ke tanker dan tidak tersebar ke segala arah dan mencemari laut. Analogi serupa dilakukan untuk menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo, yaitu semburan diarahkan ke Sungai Porong dengan tanggul untuk sementara waktu.

Untuk mematikan semburan secara permanen dilakukan tahap berikutnya dengan teknologi “Dynamic Killing”. Teknologi ini membutuhkan beberapa sumur miring yang dikenal dengan “Relief Well” untuk saluran menginjeksikan lumpur berat ke sumur sumber semburan. Lumpur berat tersebut akan memiliki tekanan hidrostatis yang cukup besar, sehingga mampu menahan tekanan yang datang dari bawah yang mendorong fluida ke permukaan. Di Teluk Meksiko, kegiatan lokalisasi semburan sudah berhasil dilakukan. Kini memasuki tahap mematikan semburan dengan teknologi dynamic killing.

Dengan metoda serupa, semburan di Selat Timor bisa dimatikan dalam waktu lebih dari empat bulan. Di Subang, Jawa Barat dan Randu-Blatung, Jawa Timur, memakan waktu sekitar lima bulan. Waktu tiga hingga enam bulan jadi pegangan para pelaksana dalam menanggulangi semburan pada kegiatan pengeboran migas. Di Teluk Meksiko, dua relief well sudah berjalan sejak 4 dan 26 Mei 2010. Di Sidoarjo telah disiapkan dua relief well. Sayangnya, kegiatan baru berjalan sekitar 20 persen harus terhenti karena biaya terbatas.

Lokalisasi semburan lumpur di Sidoarjo tidak perlu dengan kubah besar karena terjadi di darat. Lokalisasi cukup dengan mengalirkan ke Sungai Porong. Di Teluk Meksiko, lokalisasi juga dibantu dengan menebar bahan kimia “surfactant” yang memungkinkan minyak bersatu dengan air laut dan membuat minyak jatuh ke dasar laut tidak menyebar di permukaan. Di Sidoarjo tidak memerlukan surfactant karena semburan tidak mengeluarkan minyak secara signifikan, hanya air-panas-asin yang mengandung tanah liar serta gas hidrokarbon sedikit yang tentunya akan menguap sendiri ke permukaan.

Untuk mematikan semburan lumpur di Sidoarjo bisa dilakukan dengan metoda dynamic killing menggunakan relief well. Teknologi dynamic killing dengan bantuan relief well menjadi pilihan standar dalam setiap usaha mematikan semburan pada kegiatan migas, terutama yang memiliki semburan sangat kuat. Teknologi ini sudah dikuasai ahli-ahli migas anak negeri. Jadi, tidak perlu harus mengimpor ahli dan teknologi dari luar negeri.

Sebagai contoh, tahun 1984 di Subang, Jawa Barat, pada 1997 di lepas pantai Kalimantan, dan tahun 2001 di Randu-Blatung, Jawa Timur, semuanya ditangani oleh tenaga ahli dari Indonesia. Begitu pula setelah semburan lumpur di Sidoarjo, pada Desember 2008 semburan lumpur di Gresik, Jawa Timur, April 2009, dan semburan lumpur dan gas di Merbau, Sumatera Selatan, juga dapat dimatikan oleh tenaga ahli dari Indonesia Sendiri.

Untuk semburan yang ringan, dynamic killing bisa dilakukan pada sumur yang sedang menyembur dengan menggunakan bantuan pipa yang dimasukan ke dalam lubang yang sedang menyembur. Kemudian semburan dialirkan ke dalam pipa tersebut setelah di bagian bawah ada alat penyekat, disebut “Packer”, diaktifkan. Metoda ini dipakai pada kasus ratusan sumur di Irak, dekat perbatan Kuwait, yang diledakan saat perang Irak-Kuwait sepuluh tahun lalu.

Metoda ini, diberi nama Top Kill, pernah dicoba di Teluk Meksiko. Namun, metoda ini tidak berhasil karena aliran semburan cukup kuat. Metoda ini juga pernah diaplikasikan di Sumur Banjarpanji, Jawa Timur, dikenal dengan metoda “Snubbing Unit” dan “Side Tracking”. Namun, metoda ini tidak berhasil karena kualitas sumurnya sudah permanen tersemen dan pipa selubung casing-nya sudah penyok dan rusak.

Kecepatan dalam mengambil keputusan, seperti dilakukan “Iron Man” di China dan Obama di AS, untuk mematikan semburan adalah sebuah kebutuhan. Kegiatan tersebut didukung sepenuhnya oleh segenap kemampuan peralatan dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini. Sejarah mencatat, dengan langkah all out, tidak ada satupun kejadian semburan blow out yang tidak bisa dimatikan. Ironisnya, semburan lumpur di Sidoarjo empat tahun dibiarkan merana tanpa disentuh teknologi apapun.

Jika semburan lumpur di Sidoarjo tidak dihentikan, diperkirakan radius retakan yang diikuti semburan gas dan air tawar akan sampai sejauh tiga kilometer dari pusat semburan. Perkiraan itu muncul karena pusat semburan air di kedalaman tiga kilometer dari permukaan tanah. Oleh karena itu, sebaiknya warga yang berada di sekitar tiga kilometer atau kurang dari pusat semburan segera dievakuasi atau menjauhkan diri. Karena, cepat atau lambat, area tersebut akan turun atau ambles (subsidance) dan tanahnya retak. Hasilnya, di retakan-retakan tersebut akan timbul semburan gas baru.

Sampai saat ini jumlah semburan baru mencapai 182 buah. Semburan baru itu terjadi karena retakan di permukaan tanah yang mengakibatkan air bercampur gas metan keluar. Jika semburan terus terjadi, tanah di bawah menjadi berlubang dan membuat area sekitarnya tertarik turun. Akibatnya, retakan akan semakin banyak terjadi. Begitu pula semburan yang muncul akan kian banyak. Bentuk turunnya tanah akan seperti corong atau seperti gelas es krim. Jadi, di tengah amblesnya akan paling dalam.

Saat ini amblesan tanah permukaan di dekat semburan sudah mencapai lebih dari 14 meter. Jika dibiarkan, amblesan tersebut akan semakin dalam. Area yang terdampak amblesan saat ini mencapai 1000 meter lebih. Karena itu, area tiga kilometer dari pusat semburan sebaiknya tidak dibangun infrastruktur baru karena wilayah tersebut daerah yang berbahaya.

Menurut analisa sejumlah pihak, semburan lumpur di Sidoarjo bisa sepuluh tahun, atau bahkan 100 tahun lamanya. Ini tidak penting, yang paling penting justru jangan pasif menunggu berhenti, tapi harus dihentikan. Sebab, yang menyembur di lokasi lumpur Lapindo saat ini adalah air asin panas dari bawah tanah. Air itu tidak akan cepat habis dan tak ada yang tahu kapan habisnya.

Biaya yang dibutuhkan untuk menutup semburan lumpur di Sidoarjo diperkirakan hanya sekitar 100 juta dollar Amerika. Biaya ini tergolong murah dibandingkan dengan biaya menghentikan semburan di Teluk Meksiko yang makan miliaran dolar AS, 500 juta dollar di antaranya untuk penelitian lingkungan. Biaya 100 juta dolar AS ini juga termasuk kecil dibandingkan dengan pendapatan tahunan dari usaha migas di Indonesia yang sekitar 25 miliar dolar AS, dan belanja industri migas mencapai 10 miliar dolar AS. Diperlukan keseriusan dan keberanian, seperti halnya Wang Jin Xi dan Obama, dari para pemimpin negeri ini untuk memutuskan penutupan semburan lumpur Sidoarjo.

Sumber: http://metrotvnews.com/index.php/metromain/analisdetail/2010/05/31/17/Menghentikan-Semburan-Lumpur-Lapindo

Sumber :
Rudi Rubiandini R.S., Pakar Migas dari ITB
http://geologi.iagi.or.id/2010/06/19/menghentikan-semburan-lumpur-lapindo/#more-572
19 Juni 2010